PENGALAMAN DI DESA
Akhirnya kembali bisa menulis di blog ini lagi *drum roll*
Niat untuk nulis sebenernya udah ada tapi kenapa susah ya ngelakuinnya :") selain itu selalu dibayang - bayangi tugas yang menumpuk dan deadline yang menagih untuk dikerjakan hahaha maafkan tidak tahan untuk mengeluh. Sebelum berkutat kembali ke tugas - tugas, marilah kita sharing pengalaman.
Semester ini merupakan semester yang cukup berat ternyata karena ketika di awal perkuliahan, sudah beredar desas desus tentang padatnya semester ini dan akan banyak studi yang sifatnya praktik lapangan.
Kalo ditanya baik hati maupun lisan akan menolak mentah - mentah kegiatan outdoor apalagi praktik karena memang anaknya anak rumahan B). Anak yang lebih suka berkutat dengan buku, laptop dan benda mati lainnya, sibuk mengerjakan sesuatu dengan kemampuan otak dalam menyusun kata dibandingkan harus melakukan praktik, mengeluarkan tenaga fisik yang sungguh melelahkan.
Dramanya pun banyak. Yah, namanya perkuliahan akan banyak drama yang terjadi didalamnya. Jangan harap dunia perkuliahan hanya haha hihi, titip absen, modal ngedengerin dosen dengan otak kosong lalu cabut dan hura - hura. itu mungkin terjadi, tapi kayaknya lebih mungkin di FTV :). Karena dunia perkuliahan sangatlah melelahkan kawan ...
Drama yang pertama :
1. Biaya
Kegiatan outdoor kayak gini pastinya membutuhkan biaya. Durasi waktu seminggu dengan segala macam perhitungan kebutuhan, ditetapkanlah biaya yang sudah menginjak angka juta. Semenjak kuliah, pasti ada rasa untuk ga mau membebani orang tua. Karena, mereka sudah mati - matian membiayai UKT kuliah dan kebutuhan pokok dan penunjang lainnya. Akhirnya berusaha untuk usaha sendiri nyicil bayar meskipun di akhir tetep bergantung dari sumbangan dana orang tua. Tapi intinya sudah berusaha bukan?
2. Teman seperdesaan
Yak inilah yang sering jadi bahan omongan di kalangan Mahasiswa Gizi yang mau ke desa. Drama dapet desa dimana, deket atau enggak dari kecamatan, satu kelompok sama siapa aja, anak - anaknya gimana. Ya, jadi dari seluruh mahasiswa D4 akan dibagi kelompok kecil yang berisikan beberapa orang nah kelompok tadi akan menjadi satu tim di satu desa yang udah ditentukan dan harus hidup bersama selama 7 hari.
kebayang kan kalo teman seperdesaan kita wataknya bertolak belakang dan susah untuk diajak kerjasama sama kita. Manusia introvert seperti dirikulah yang paling ketar ketir berharap temennya akan enak - enak aja dan asik diajak komunikasi
3. Kondisi hidup di desa
Ini yang juga sukses bikin ngeri mahasiswa. Gosip yang beredar banyak, himbauan dari dosen pun banyak. Mulai dari ada yang pernah kecelakaan, ditolak responden waktu mau wawancara, dijutekin waktu wawancara, naik sepeda jatuh sampai mengakibatkan hal yang tidak mengenakkan, diliatin makhluk halus, gabisa ketawa sama ga sempet makan selama seminggu, dapet supervisor yang serem, rumah orang yang ditinggalin ga enak, gabisa makan leluasa, istirahat kurang, dikerjar target tapi waktu terbatas, rumah responden ada yang digunung dan lain sebagainya.
Itulah segelintir drama yang ada selama persiapan sebelum ke desa.
Bisa dibilang ini pengalaman pertama ninggalin rumah dalam waktu lama dan sendiri juga keluar kota. Pastinya ada pertumpahan air mata tapi untungnya masih bisa diatasi. Persiapan pun udah kayak mau merantau, bawa koper, snack kalo takut kelaperan, sendal --katanya jalannya becek dan berlumpur, terpaksa beli nomer baru dan dipaketin --padahl sebelumnya ga pernah beli paketan wkwk karena anak WiFi banget yang kalo keluar rumah dikit udah mati gaya gabisa ngapa - ngapain palingan berharap hotspot dari temen (jangan ditiru), dan yang paling ga banget sampe bawa gayung sendiri dengan alasan pribadi.
Singkatnya, sampai di kota tersebut yang ada di kawasan Jawa Tengah, hati rasanya dag dig dug karena khawatir luar biasa. Udah mikirin hal - hal yang aneh - aneh. dan sampailah di kecamatan kota itu. setiap kelompok desa dijemput sama masing - masing perwakilan desa dan ternyata kita dapet ibu - ibu yang kebetulan juga kades desa kelompok kita. dengan logat nya yang kentel daerah itu dan orangnya ramah luar biasa dan rendah hati untuk ukuran punya jabatan penting.
singkat cerita sampai dirumahnya dan disambut seluruh anggota keluarganya di depan rumah. lengkap. mulai dari ibunya bu kades, suami, pembantu sampai anak - anaknya. ada rasa seneng disitu. baru dateng pun disuguhi aneka macam makanan. Intinya keluarga ini cukup hangat, baru awal pertemuan udah diceritain tentang anaknya yang udah meninggal dan rumahnya udah sering dijadiin basecamp mahasiswa berbagai universitas yang lagi KKN.
petualangan dimulai waktu keesokan hari. Malamnya kita ngumpul berlima dan persiapan berbagai file yang harus dibagi - bagi per orang untuk digunakan melakukan praktik lapangan. Bisa dibilang, pelayanan di rumah bu Kades ini wow banget. Layaknya orang Jawa pada umumnya, kita disuguhin teh hangat dan manisnya luar biasa --maklum orang Jawa, jajanan pasar dan khas daerah itu termasuk mendoan yang melegenda saking seringnya diceritain sama mahasiswa yang udah pernah dateng ke daerah ini, dan di akhir disuruh sarapan dengan aneka macam rupa lauk yang membuat ingin berucap "nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?" :) Jujur aja, karena kalo dirumah ga pernah makan sebanyak itu lauknya wkwk. Bayangkan ini lebih dari bergizi seimbang, dua lauk hewani, nabati, sayur dan tentunya nasi dan yang paling penting rasa dan cara pengolahannya enak bangets.. setidaknya ada yang membuat ku betah didesa haha lumayan untuk perbaikan gizi. Bagaimana ibu menyajikan makanan buat mahasiswa Jakarta sangatlah maksimal, memang ini sudah dianggarkan dari yang kita bayar, tapi bisa dibilang cukup mewah untuk makan di desa.
Salah satu yang bikin kelompok kita ingin menangis luchu ketika tahu supervisor yang kita dapetin adalah supervisor yang kita paling takutin/ dengan wajah pasrah, jadilah kita menerima dengan hati ikhlas dan diajak foto bersama beliau. Makin - makinlah membuat diriku yang lemah ini berniat untuk bekerja keras.
Salah satu hal yang paling disyukuri selama di desa adalah betapa Allah swt baik banget sama hamba-Nya. Mulai dari pembagian RT, dapet RT yang jaraknya lumayan deket dari rumah tinggal jalan kaki, sebenernya juga karena pertimbangan diriku yang tidak bisa naik motor haha jadilah tukeran sama yang bisa naik motor, lalu kita ke tempat bu bidan untuk nyari data - data anak batita maupun ibu hamil yang ada di masing - maasing RT. Kemudahan lagi, bu bidannya masih muda dan ramah luar biasa, rendah hati dan sangat membantu, kerennya lagi dia megang beberapa RT tapi cukup hafal sama warga yang ada di datanya, mulai dari bumil yang udah ngelahirin, orang yang udah pindah dll, cukup mengesankan sih. Setelah dari situ, berlanjut ke rumah ketua kader masing - masing RT untuk minta temenin dateng ke rumah responden biar lebih diterima. dengan berbekal senyum manis, basa - basi dan berusaha merendah dan seramah mungkin, ibu ini terima terima aja untuk ditemenin.
Salah satu pelajaran hidup yang penting yang didapetin selama di desa adalah ada saatnya kita hidup ga sama orang tua, hidup disuatu daerah yang belum pernah kita datengin sebelumnya, adat budayanya beda sama kota tempat tinggal kita, kita cuma bisa bergantung sama Allah swt dan berusaha lewat kemampuan diri sendiri dan tentunya juga butuh bantuan orang lain. Selama di desa, rasa sombong dan merasa tinggi akan menghambat semuanya. Kayak saya yang sehari - harinya cuek sama orang sekitar maklum aja tinggal di Jakarta, hanya menyapa sekedarnya sama yang dikenal, jarang basa basi dan cenderung kaku. Didesa, semua sikap itu ga berlaku. Saya belajar untuk merendah serendah mungkin , tidak merasa hebat dan pintar karena mahasiswa, merasa sombong karena dari kota, cuek dan apatis karena ga butuh sama orang sekitar yang ga aya kenal. Disana saya berusaha senyum sama siapapun yang saya temui di jalan, saya sapa walaupun cuma dengan kata "Pak.. Bu" dengan harapan agar masyarakat sekitar nyaman dan juga memberikan bantuan jika saya butuh.
ada benernya juga, kalo kita berbuat kebaikan ya akan dibalas kebaikan. Kayak saya yang kebingungan cari rumahnya Pak RT lalu ada ibu yang naik motor nyampering "nyari rumah siapa mbak?" dan dengan ramahnya nunjukkin dan dengan detail. kondisi yang cukup langka kalau di Jakarta.
selama bikin janjian sama ibu - ibunya batita atau sama mba - mba bumil juga mengasah kemampuan sosialisasi dan ngelobi orang, gimana caranya bikin orang deket dan nyaman sama kita, membuat bonding agar mau terlibat dengan ikhlas sungguh menguras tenaga. pastilah awal - awal rada kurang nerima gitu mereka, ya maklum masih asing, ada yang masih rada dingin gitu --kayak kamu :( *peace tapi yaudah bersabar dan tetap optimis.
jujur hidup di desa chalengging juga dan juga seru. maklum ga pernah ngerasain kos. seru aja tinggal bareng temen, kerjain tugas ampe malem terus tidur bentar bngun lagi ngerjain, makan udah tersedia, cucian tumpuk aja bawa ke rumah nanti haha, terus pagi - pagi pada ngebolang ke rumah responden dan menjelajah desa. pulang lagi numpang makan dan sholat dan ngebolang lagi. ketemu malem, ngerjaun tugas sambil curhat - curhatan.
bersyukurnya, dari seluruh target responden semuanya tinggal di RT dan wilayah yang samaan gaada yang mencar. Jadi ku ga perlu bolak balik dari satu rumah ke rumah lain yang berjauhan. Beda sama temen seperdesaan ku yang baru balik maghrib dan kadang bisa seharian di jalan karena lokasinya yang jauh dari basecamp. sama kayak temen - temen lagi di desa lain yang perlu effort besar untuk nyampe ke lokasi. Allah emang baik banget.
Salah satu kejadian yang emang paling unforgottable adalah ketika didatengin supervisor di sore hari dan ku hanya sendiri teman - teman belom balik. dengan muka pucat sputih kertas ku ditanya - tanya macam bimbingan proposal. sempet lemot dan si ibu "kesel kesel lucu" sama aku. ya gimana dong orang ga ngerti sama tulisan di kertas itu, kebetulan aku yang megang kertasnya. mau bilang gatau takut kena omel jadilah hanya memandang kertas dan diambil alih sama beliau.
yaudahlahya
yang bikin panik adalah ketika diri sudah lelah dan hendak berjalan menuju rumah basecamp pas mau dibelokan rumah ngelihat supervisor lagi didepan pintu ngomong sama mba dirumah bu kades. Ya tau lah ya akhirnya. pura - pura kabur tapi akhirnya ketangkep basah juga. diikutin sampe rumah responden. untungnya ga sampe selesai wawancara dosennya izin duluan. deg - degan meskipun ada sedikit kesalahan tapi senengnya adalah beberapa tmn desa lain nelponin karena kata supervisornya aku bagus waktu wawancara wkwkwk gatau juga sih bener apa enggak.
di desa selama seminggu bikin aku banyak belajar juga tentang bersyukur hidup di tengah - tengah keluarga yang masih bisa mencukupi kebutuhan pokok dan bisa hidup layak meski sederhana. punya ayah dan ibu yang latar belakang pendidikan cukup baik. di desa, rasanya miris. belum banyak ibu yang kasih makan anaknya sesuai usia. ada yang udah usia MP ASI, tapi baru awal, udah dikasih nasi, yang mana harusnya dikasih ketika udah setahun, ada yang ga dapet ASI Eksklusif dan terpaksa minum Sufor karena ASI ibu ga keluar, makannya cenderung sedikit dan monoton, yang mana usia segitu lagi masa - masa emas untuk tumbuh kembangnya. Karena faktor apa? Pengetahuan? Kalo secara teori memang ibu ibu mungkin kurang, ibu ibu ga bakalan tau dalam sayur tuh ada apanya yang bikin jadi bermanfaat, kalaupun ada hanya sedikit. Tapi kalo ditanya anaknya harus dikasih makan apa, mereka tau kalo harus ada buah, sayur, daging, tahu dan semua harus beragam. Balik lagi, masalahnya adalah sekitaran ekonomi. Kebanyakan ibu ibu disini adalah ibu RTsedangkan suaminya ga jarang hanya kerja sebagai buruh atau kerja di sawah.
Pernah ada satu responden yang waktu saya datangin, bapaknya ikut nemenin, sampe ada pertanyaan yang bikin sedih juga,
"Ini buat apa sih mba? Biar dapet bantuan apa?" kata salah satu diantaranya, bercanda sih maksudnya, tapi rada miris juga. pertanyaa itu muncul setelah minta KK bapak ibu itu untuk data.
setelah dijawab, bapak itu meanjutkan cerita kalau pernah ada kegiatan seperti ini juga, semuanya ditanyain satu RT itu, dimintain KK, terus semua dapet bantuan kecuali keluarga bapak ini. Padahal dia ngikutin semua prosedurnya, entahlah. Ini sih yang bikin sedih. Ketika rasanya udah ngambil sebagian waktunya, terus balasan yang kita kasih atau souvenir ga seberapa.rasanya pengen ngebantu apa gitu yang bermanfaat.
sering ga sih ngeliat di IG beberapa anak kecil yang masing tergolong bayi dipenuhi berbagai mainan oleh orangtuanya. disini miris. mereka cuma digendong dan kalau dikasih mainan ya seadanya misalkan karet, atau apalah yang ada disekitarnya. Padahal usia segitu perlu stimulasi, lagi masa- masanya bermain. Pernah waktu itu, beberapa anak bayinya excited banget ngeliat buku foto yang isinya gambar - gambar makanan, yang aku bawa biar memudahkan waktu wawancara. Ya, mungkin mereka butuh stimulasi gambar dan lain sebagainya. Untungnya, ibu - ibu disini cukup bawel karena sering banget ngajak ngobrol anaknya, muji anaknya, komunikasi apapun sama anaknya.
tetiba waktu di desa saya kangen sama ibu saya dan berakhir nangis sendirian di kamar basecamp. untung belum ada temen - temen yang pulang. gara - gara papasan sama ibu - ibu yang mukanya lembut dan teduh, sederhana banget penampilannya, ngingetin saya sama almarhum ibu.
Nyatanya jadi ibu itu ga gampang. itu sih yang saya pelajari. selain harus punya ilmu tentang dunia anak, juga harus tahan mental untuk ga gampang stress dalam tiap kondisi, kayak misalnya kondisi keuangan menipis, pemasukan ga tentu tapi makan harus jalan, ibu disini keren- keren, mereka juga bantu kerja dengan bikin bulu mata palsu yang nantinya dikumpulin dan disetor, ibu - ibu disini juga bahagia bahagia banget mukanya padahal pikirannya banyak. kalo saya mah udah nyerah mungkin...
pernah waktu sampe rumah, temen saya tiba - tiba nyeletuk
"ih ngeliat bayi tiap hari jadi pengen punya bayi deh. pengen cepet - cepet" kurang lebih gitu.
lalu saya balas dengan balasan yang kontra dengan pendapatnya
bagi saya, saya bersyukur masih bisa mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah. merasakan belajar, bersosialisasi, mencari pengalaman dengan melakukan banyak hal, belum mikirin besok anak makan apa, besok bikin menu apa, bayar listrik gimana...
ibu - ibu disini relatif banyak yang nikah muda dan tingkat pendidikannya juga cenderung rendah... suatu keterpaksaan atas kondisi yang ada.
bukannya tidak setuju dengan nikah muda, hanya saja kebanyakan generasi saat ini hanya melihat luarnya saja. Coba aja mereka main ke desa, melihat betapa banyaknya ibu muda yang sudah punya anak. Yang mungkin saja jika mereka mengenyam pendidikan dengan baik, kehidupan mereka akan lebih baik dan berdampak bagaimana cara mengasuh anak. ada satu bumil yang usianya dibawah saya dan menurut saya sangat memprihatinkan.
pembelajaran juga untuk saya sendiri yang juga masih terkungkung dalam bayangan kalau nikah itu bakalan indah. ga sepenuhnya salah, tapi kalau hanya angan- angan tanpa persiapan ya gatau lah gimana. dari ibu - ibu disini saya belajar, nikah bukan hanya romantisme belaka dengan pasangan kelak, harus punya visi misi yang jelas keluarga ini mau dibawa kemana, persiapa perekonomian, gimana kalau jatuh, apa yang harus kita lakukan, persiapan cara mengasuh baik dari segi psikis, fisiknya, asupannya dan segala macamnya...
bersyukurlah dengan keadaan kita.
berusaha maksimalkan keadaan yang ada dengan melakukan berbagai hal positif sebelum hari itu datang.
jangan coba sekali - kali menyerah menghadapi suatu masalah dengan mengatakan "pengen nikah ajadeh".. karena menikah tidak semudah itu teman...
di desa selama seminggu bikin aku banyak belajar juga tentang bersyukur hidup di tengah - tengah keluarga yang masih bisa mencukupi kebutuhan pokok dan bisa hidup layak meski sederhana. punya ayah dan ibu yang latar belakang pendidikan cukup baik. di desa, rasanya miris. belum banyak ibu yang kasih makan anaknya sesuai usia. ada yang udah usia MP ASI, tapi baru awal, udah dikasih nasi, yang mana harusnya dikasih ketika udah setahun, ada yang ga dapet ASI Eksklusif dan terpaksa minum Sufor karena ASI ibu ga keluar, makannya cenderung sedikit dan monoton, yang mana usia segitu lagi masa - masa emas untuk tumbuh kembangnya. Karena faktor apa? Pengetahuan? Kalo secara teori memang ibu ibu mungkin kurang, ibu ibu ga bakalan tau dalam sayur tuh ada apanya yang bikin jadi bermanfaat, kalaupun ada hanya sedikit. Tapi kalo ditanya anaknya harus dikasih makan apa, mereka tau kalo harus ada buah, sayur, daging, tahu dan semua harus beragam. Balik lagi, masalahnya adalah sekitaran ekonomi. Kebanyakan ibu ibu disini adalah ibu RTsedangkan suaminya ga jarang hanya kerja sebagai buruh atau kerja di sawah.
Pernah ada satu responden yang waktu saya datangin, bapaknya ikut nemenin, sampe ada pertanyaan yang bikin sedih juga,
"Ini buat apa sih mba? Biar dapet bantuan apa?" kata salah satu diantaranya, bercanda sih maksudnya, tapi rada miris juga. pertanyaa itu muncul setelah minta KK bapak ibu itu untuk data.
setelah dijawab, bapak itu meanjutkan cerita kalau pernah ada kegiatan seperti ini juga, semuanya ditanyain satu RT itu, dimintain KK, terus semua dapet bantuan kecuali keluarga bapak ini. Padahal dia ngikutin semua prosedurnya, entahlah. Ini sih yang bikin sedih. Ketika rasanya udah ngambil sebagian waktunya, terus balasan yang kita kasih atau souvenir ga seberapa.rasanya pengen ngebantu apa gitu yang bermanfaat.
sering ga sih ngeliat di IG beberapa anak kecil yang masing tergolong bayi dipenuhi berbagai mainan oleh orangtuanya. disini miris. mereka cuma digendong dan kalau dikasih mainan ya seadanya misalkan karet, atau apalah yang ada disekitarnya. Padahal usia segitu perlu stimulasi, lagi masa- masanya bermain. Pernah waktu itu, beberapa anak bayinya excited banget ngeliat buku foto yang isinya gambar - gambar makanan, yang aku bawa biar memudahkan waktu wawancara. Ya, mungkin mereka butuh stimulasi gambar dan lain sebagainya. Untungnya, ibu - ibu disini cukup bawel karena sering banget ngajak ngobrol anaknya, muji anaknya, komunikasi apapun sama anaknya.
tetiba waktu di desa saya kangen sama ibu saya dan berakhir nangis sendirian di kamar basecamp. untung belum ada temen - temen yang pulang. gara - gara papasan sama ibu - ibu yang mukanya lembut dan teduh, sederhana banget penampilannya, ngingetin saya sama almarhum ibu.
Nyatanya jadi ibu itu ga gampang. itu sih yang saya pelajari. selain harus punya ilmu tentang dunia anak, juga harus tahan mental untuk ga gampang stress dalam tiap kondisi, kayak misalnya kondisi keuangan menipis, pemasukan ga tentu tapi makan harus jalan, ibu disini keren- keren, mereka juga bantu kerja dengan bikin bulu mata palsu yang nantinya dikumpulin dan disetor, ibu - ibu disini juga bahagia bahagia banget mukanya padahal pikirannya banyak. kalo saya mah udah nyerah mungkin...
pernah waktu sampe rumah, temen saya tiba - tiba nyeletuk
"ih ngeliat bayi tiap hari jadi pengen punya bayi deh. pengen cepet - cepet" kurang lebih gitu.
lalu saya balas dengan balasan yang kontra dengan pendapatnya
bagi saya, saya bersyukur masih bisa mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah. merasakan belajar, bersosialisasi, mencari pengalaman dengan melakukan banyak hal, belum mikirin besok anak makan apa, besok bikin menu apa, bayar listrik gimana...
ibu - ibu disini relatif banyak yang nikah muda dan tingkat pendidikannya juga cenderung rendah... suatu keterpaksaan atas kondisi yang ada.
bukannya tidak setuju dengan nikah muda, hanya saja kebanyakan generasi saat ini hanya melihat luarnya saja. Coba aja mereka main ke desa, melihat betapa banyaknya ibu muda yang sudah punya anak. Yang mungkin saja jika mereka mengenyam pendidikan dengan baik, kehidupan mereka akan lebih baik dan berdampak bagaimana cara mengasuh anak. ada satu bumil yang usianya dibawah saya dan menurut saya sangat memprihatinkan.
pembelajaran juga untuk saya sendiri yang juga masih terkungkung dalam bayangan kalau nikah itu bakalan indah. ga sepenuhnya salah, tapi kalau hanya angan- angan tanpa persiapan ya gatau lah gimana. dari ibu - ibu disini saya belajar, nikah bukan hanya romantisme belaka dengan pasangan kelak, harus punya visi misi yang jelas keluarga ini mau dibawa kemana, persiapa perekonomian, gimana kalau jatuh, apa yang harus kita lakukan, persiapan cara mengasuh baik dari segi psikis, fisiknya, asupannya dan segala macamnya...
bersyukurlah dengan keadaan kita.
berusaha maksimalkan keadaan yang ada dengan melakukan berbagai hal positif sebelum hari itu datang.
jangan coba sekali - kali menyerah menghadapi suatu masalah dengan mengatakan "pengen nikah ajadeh".. karena menikah tidak semudah itu teman...
Komentar
Posting Komentar